KLIKKUNINGAN.COM- Bencana alam tidak pernah hadir tanpa sebab. Ia lahir dari rangkaian kelalaian panjang, dari keputusan yang mengabaikan keseimbangan alam, hingga kebijakan yang lebih mengutamakan izin usaha ketimbang keselamatan manusia.
Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera pada akhir November 2025 menjadi bukti nyata.
Ribuan nyawa melayang, ribuan rumah hancur, dan pemerintah kembali terlihat gagap. Setelah bencana terjadi, barulah berbagai pihak sibuk mencari siapa yang harus disalahkan.
Baca Juga:Pergi ke Sawah pada Dini Hari, Seorang Warga Purwasari Kuningan Ditemukan Meninggal DuniaFraksi PKS Buka Catatan Kinerja ke Publik Lewat Peluncuran Buku
Ketua LSM Frontal Kuningan, Uha Juhana, menilai pola ini terus berulang. Penindakan terhadap perusahaan perusak lingkungan memang perlu, namun sering kali datang terlambat.
“Seharusnya pencegahan dilakukan sejak awal, bukan setelah korban berjatuhan,” tegasnya.
Data menunjukkan kerusakan hutan di Sumatera berlangsung masif dalam satu dekade terakhir.
Jutaan hektare hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang, dan kawasan usaha lain. Dampaknya jelas: daya dukung lingkungan melemah.
“Hutan yang seharusnya menyerap air hujan dan menahan tanah, kini digantikan oleh tanaman monokultur yang tak mampu menahan limpasan air saat hujan ekstrem,” tandas Uha.
Akibatnya, banjir bandang dan longsor menjadi ancaman nyata setiap musim hujan.
Pohon bukan sekadar tumbuhan. Akar-akar pohon berfungsi seperti paku yang mencengkeram tanah, menahan erosi, sekaligus menyerap air.
Baca Juga:Talaga Biru Cicerem Kaduela, Etalase Sukses Wisata Desa KuninganCatatan Kritis KADIN Kuningan di Akhir 2025, Antara Stabilitas Pemerintahan dan Mandeknya Pertumbuhan Ekonomi
Ketika hutan ditebang sembarangan, sistem alam runtuh perlahan—dan bencana tinggal menunggu waktu.
“Sebagian pejabat kerap menyederhanakan bencana sebagai dampak cuaca ekstrem semata. Padahal, hujan deras dan badai tropis adalah bagian dari krisis iklim global yang diperparah oleh ulah manusia,” tulis Uha.
Penggunaan bahan bakar fosil, pembabatan hutan, dan hilangnya area penyerap karbon membuat suhu bumi meningkat.
Laut menghangat, hujan ekstrem makin sering, dan wilayah rawan bencana semakin meluas.Indonesia, sebagai negara kepulauan, berada di garis depan dampak krisis iklim.
Banjir rob di pesisir Jawa dan banjir bandang di daerah pegunungan adalah dua wajah dari masalah yang sama: kerusakan lingkungan yang dibiarkan.
Banjir besar yang melanda Kabupaten dan Kota Cirebon pada Desember 2025 menambah daftar peringatan. Air datang tiba-tiba, tinggi, dan tidak biasa. Banyak warga menduga banjir tersebut merupakan air kiriman dari wilayah Kuningan yang berada di hulu.
