Wildan menolak dilabeli sebagai sekadar simbol. Ia menegaskan dirinya adalah pelaku aktif, bukan pengamat. “Saya bukan representasi, saya bukti nyata,” tandasnya saat diwawancarai pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Sebagai lulusan Agribisnis, ia tidak pernah menganggap bertani sebagai pilihan terakhir. Justru di sanalah ia menemukan panggilannya. “Negeri ini tak butuh janji kosong. Dan sawah di desa kami tak akan menanam dirinya sendiri,” ucapnya dengan tegas.
Sejak 2019, ia mengelola lahan pertanian secara mandiri, dan kini telah membudidayakan tanaman di lahan seluas 13,5 hektare. Ia menggabungkan praktik tradisional dengan teknologi pertanian modern—mulai dari traktor roda empat, sistem irigasi tetes, hingga oven pengering hasil panen rancangan sendiri. Ia juga aktif mengikuti pelatihan dari BBPP Lembang serta Dinas Pertanian.
Baca Juga:Rekayasa Kasus Begal, Akhirnya Perempuan Asal Ciwaru Diamankan PolisiKolaborasi Bareng Baznas, Dandim 0615/Kuningan Pantau Pembongkaran Rumah Tak Layak Huni di Mekarjaya
“Bertani itu bukan tentang menunggu panen. Ini tentang proses. Tentang terus berkembang,” ungkapnya.
Ia pun membantah anggapan bahwa regenerasi petani hanya bersifat seremonial. Berdasarkan pengalamannya, lebih dari 600 petani muda di Kabupaten Kuningan telah menjalani pelatihan dan aktif bertani di lapangan.
Mereka tidak hadir hanya saat panen raya, tetapi juga terlibat langsung dalam pembangunan sistem pertanian yang berkelanjutan.
Merujuk pada Sensus Pertanian 2023, terdapat 10.674 petani muda berusia 19–39 tahun di Kabupaten Kuningan, mencakup 17,56 persen dari total petani di daerah tersebut.
Wildan adalah satu dari ribuan pemuda itu—bukan sekadar angka statistik, melainkan representasi nyata dari perubahan.
“Saya tahu, masih ada yang meragukan kami. Tapi kami bukan sekadar angka. Kami benar-benar hidup dari dan untuk pertanian,” pungkasnya. (*)