Dulu, angklung hanya mampu mengikuti nada pentatonik seperti yang digunakan dalam gamelan dan musik tradisional lainnya. Namun, sebuah terobosan terjadi pada tahun 1938 ketika Daeng Soetigna, seorang guru di SMP 1 Kuningan, belajar dari Kuwu Citangtu, Muhammad Sotari atau yang dikenal sebagai Pak Kucit. Dari proses pembelajaran inilah lahir angklung dengan tangga nada diatonis.
Tangga nada diatonis, yang terdiri dari interval satu dan setengah nada, memungkinkan angklung untuk memainkan lagu-lagu modern seperti pop, jazz, hingga rock.
Inovasi ini menjadikan angklung sebagai alat musik tradisional yang mampu menjangkau dunia musik internasional tanpa meninggalkan akarnya.
Baca Juga:Dua Pelaku Begal Motor di Kuningan Diamankan Warga, Satu Masih KaburAntisipasi Kecurangan, ASN Setda Kuningan Diterapkan Sistem Absensi Ganda
Dengan pementasan ini, Kuningan menegaskan komitmennya dalam memadukan pendidikan, budaya, dan inovasi sebagai warisan yang hidup dan berkembang.